The Boycott

Seberapa jauh kita bersedia mengesampingkan keinginan dan prestige pribadi demi apa yang kita yakini, misalnya agama. Masih ingat ketika media ramai membahas tentang perang yang terjadi antara Palestina – Israel ? Meskipun kini media tidak lagi mengangkatnya sebagai tema utama, bukan berarti keadaan disana juga sudah lebih calm down.
Kala itu juga mendadak beredar pesan berantai lewat BBm ataupun Line, tentang produk – produk yang ternyata adalah produk yang CEOnya mendukung Israel, terlepas dari apa agama atau kewarganegaraan mereka. Menurut pesan berantai, konon produk ternama inilah yang selama ini hasil labanya digunakan untuk membeli senjata paling mutakhir bagi Israel. Sebutlah beberapa nama : Starbucks, Nestle, Kraft, Levi’s, Maybelline, Revlon, L’oreal dsb.
Seberapa susah sih kita menghindari atau ‘berpuasa’ sebentar dari produk tersebut ? Terlepas dari mereka benar menyumbang dana untuk Israel mampu membiayai perang berhari-hari atau tidak. Jawabannya, cukup susah ternyata, produk dengan label tersebut sudah masuk kedalam kehidupan sehari – hari. Tinggal membuka cosmetic pouch milik saya, disana sudah bertebaran bedak Revlon, mascara Maybelline dan teman-temannya. Begitu pula sengan kopi Nescafe atau susu Dancow yang sangat mudah dijumpai di took kelontong sekalipun.
Bagaimana jika yang berpuasa dan meliburkan diri adalah Ellen DeGeneres, Elton John, Anna Wintour of Vogue, Hedi Slimane of Yves Saint Laurent, Brian Atwood, Sharon Osbourne ? Wah meliburkan diri dari apa orang-orang tenar ini, sampai mereka rela memindahkan acara amal senilai 60 juta dolla, bayangkan bisa dapat berapa cup Starbucks ? Apakah follow twitter salah satu orang yang saya sebutkan di atas ? Coba cek timeline Ellen DeGeneres pada April22, 2014 “I won’t be visiting the hotel Bel-Air or The Beverly Hills Hotel until this is resolved.” Jadi mereka ini berpuasa dari yang namanya Dorchester Collections, konon ini adalah nama yang diberikan oleh Sultan Brunei pada koleksi hotel-hotel mewahnya.
Wah ternyata sultan Brunei lebih kaya dari presiden Indonesia,hehe. Jadi sultan Hassanal Bolkiah (from Brunei) ini adalah pemilik dari hotel The Dorchester – London, Le Meurice – Paris, The Hotel Plaza Athenee – Paris, New York Palace, Hotel Bel-Air dan Beverly Hills Hotel. Deretan nama hotel yang asing bagi kita bukan ? Saya sih, mampu menginap di Sheraton atau JW Marriot saja sudah merupakan sebuah ‘prestasi’. Koleksi hotel yang dimiliki olah sultan tersebut pasti harga untuk menginap semalam, sudah bisa untuk kontrak rumah. Bagi kaum selebriti, menginap di hotel semacam The Hilton’s, JW Marriot dan Sheraton mungkin terlalu biasa.
Prestige bagi kaum selebritis papan atas, adalah ketika mampu menginap di kamar yang dulunya ditempati Elizabeth Taylor tahun 1961 setelah ia memenangkan Oscar. Atau berenang di pool hotel dimana anggota The Beatles pernah menceburkan diri mereka. Nilai historis dan eksklusifitas yang sudah muncul semenjak dahulu kala inilah yang penting di mata para Hollywood listers dan famous figures. Ibarat gengsinya ibu-ibu kampung yang dianggap ‘mampu’ ketika ulang tahun anaknya dirayakan di Mc’D bukan dengan nasi kuning di rumah. Atau mahasiswa yang jauh lebih cool dengan menenteng cup Starbucks.
Jadi mengapa Anna Wintour dan teman-teman memboikot hotel yang sangat prestigious dengan tidak menginap serta memindahkan semua acara socialite mereka. Bahkan repot memberikan awareness melalui twitter , instagram dan facebook mereka tentang protes ini. Yah tentunya follower mereka ada di berbagai belahan dunia dan jutaan, nggak kayak follower saya yang limited edition :p
Alasan mereka ‘berpuasa’ dari semua hotel milik sultan Brunei adalah ketika Oktober 2013 Sultan Brunei berniat menegakkan hukum Islam di negaranya.
“…announced in October 2013 that he was adopting the harsh and ancient Islamic penal code. Sharia calls for, among others punishments, public flogging of women who have abortions and amputation of limbs and death by stoning of homosexuals, adulterers and thieves.”
“He always stays at the Beverly Hills Hotel. But he said he was going to Peninsula. Everybody’s outraged. And at the same token, everyone has such mixed emotions because we love the help there. But we all have principles, is we can’t go to a hotel or to anything that benefits somebody who will kill human being and stone them to death because of their beliefs” Clive Davis
“ If we lived in Brunei, as of next year, we wouldn’t be married in front of our sons. We’d be getting beaten to death, with objects” Elton John
Jadi, mereka menghubungkan ketika mereka menginap atau mengadakan acara di hotel – hotel tersebut maka mereka menjadikan Sultan Brunei semakin kaya dan otomatis mengintimidasi kaum L.G.B.T karena ia berniat menegakkan hukum syariah. Agak mirip kan ya dengan pembelian Nestle, Coca Cola, Levi’s yang –jika memang benar- menyumbang Israel membeli jet tempur tanpa awak yang bisa membom dengan akurat.
Bukan saya tidak menghargai kaum L.G.B.T atau mendukung seorang pencuri untuk dihukum dengan cara dilempar batu sampai mati. Tapi apakah memang sudah terjadi sampai detik ini, dimana mayat – mayat bergelimpangan, berlumuran darah di Brunei karena mereka adalah bagian dari kaum L.G.B.T ? Sudahkah ada pengeboman besar-besaran terhadap Gay club/bar atau rumah sakit yang membantu para wanita muda untuk aborsi ? Sampai dengan hari ini saya belum melihat berita tersebut muncul, entah apa karena Brunei kalah pamor dengan Israel-Palestina. Yang jelas jika di Israel, sudah jelas terekam aksi pesawat militer, tank, beragam senjata menyebabkan tewasnya entah berapa banyak manusia.
Sultan Brunei saat itu hanya mendeklarasikan bahwa ia ingin menegakkan syariat Islam, karena ia sebagai pemimpin negara yang sudah 67 tahun mulai memikirkan tentang kehidupan afterlife. Ia tidak secara mendetail menjelaskan bahwa melempari kaum L.G.B.T adalah tindakan yang akan disahkan di negaranya. Dalam Al Qur’an yang saya ketahui, pelemparan batu terjadi di jaman nabi Luth terhadap kaum Sodom. That’s it. Ternyata dalam hal ‘puasa’ saja kita masih perlu belajar dari mereka yang juga memiliki prinsip.

German Movie Festival

“Life is like a long marathon, you keep running and never stops until you reach the finish. You will need strategy and training to run through it until the end.”

Akibat terlalu lama gak sempat review, I’m not sure if the quote stated in this movie exactly like my opening. Namun film ini memang inti ceritanya adalah mengenai marathon, betapa seseorang yang sudah berusia lebih dari 70 tahun bernama Paul Averhoff masih ingin berpartisipasi dalam Berlin marathon. Kala dirinya masih muda, Paul seorang atlet lari, sedangkan istrinya Margot Averhoof merupakan trainer sekaligus managernya. Mereka memiliki putri tunggal –aku banget deh,haha – Birgit, yang berprofesi sebagai pramugari.

Tuntutan profesi, mengharuskan Birgit untuk sering bepergian dan meninggalkan kedua orangtuanya sendiri di rumah. Kedua orangtuanya kurang sreg jika putrinya membayar pembantu atau perawat untuk menemani mereka. Akan tetapi selalu muncul kecelakaan – kecelakaan, misalnya saat Margot terpeleset di kamar mandi, yang mengharuskan Birgit mengajukan cuti. Dengan penuh pertimbangan, Birgit memutuskan agar kedua orangtuanya tinggal di panti jompo. Setidaknya disana ada banyak perawat dan dokter yang menjaga 24 jam, merawat setiap saat serta tersedia ‘teman’ yang senasib sepenanggungan.

Sayangnya Paul dan istrinya tidak merasa panti jompo adalah tempat terbaik. Panti jompo lebih kepada tempat mengubur mimpi, menunggu akhir kehidupan dan penampung rasa putus asa. Lingkungan panti justru akhirnya mengobarkan semangat Paul, ia teringat passion hidupnya yaitu berlari. Tepuk tangan warga Jerman ketika dirinya naik podium, serta Margot yang setia menemaninya berlatih. Teman seusia Paul yang sudah terbiasa diperlakukan ‘tua’ memandang sebelah mata pada tekadnya mengikuti marathon. Beranggapan ia pasti tidak ada apa-apanya disbanding partisipan lain yang lebih muda.

Tak ada kata menyerah dalam diri Paul, ia terus berlatih meskipun fisiknya tak lagi sebugar dahulu. Margot yang sudah lama mengidap kanker, akhirnya kembali ke pelukan Tuhan beberapa hari sebelum marathon. Kepergian sang istri membuat Paul terpukul, ditambah lagi konflik dengan anak semata wayangnya Birgit. Selama ini putrinya merasa tak pernah bebas, selalu dibayangi dan dibatasi ruang geraknya oleh kedua orangtua, padahal usianya sudah sangat cukup untuk berkeluarga sendiri. Api yang berkobar, kini meredup, Paul mengalami kesedihan yang sangat mendalam.

Akankah Paul tetap mengikuti Berlin marathon dan berhasil mencapai finish ? Bagaimana hubungan ayah-anak semata wayang ini berakhir, tanpa figur seorang ibu ? This is a movie that you must see !! Wajib nonton Sein Letztes Rennen by Kilian Riedhof. Mungkin film-nya available di Wisma Jerman, yah memang sih dalam bahasa Jerman tapi ada subtitle Bahasa Inggrisnya kok 

“Human should never stops dreaming even though we are old enough”

Drums, Girls and Dangerous Pie

“ If you could pick one word in the English language to describe the universe, what would it be ? Why ?
“ Unfair, unfair, unfair. What do you call a planet where bad guys stroll through life with success draped around their shoulders like a king’s cloak, while random horrors are visited upon the innocent heads of children ? I call it Earth”
Se-sederhana itulah Steven -13 tahun- mendeskripsikan tentang alam semesta. Sejak adiknya Jeffrey yang berusia 5 tahun divonis menderita kanker darah. Ini memang bukan cerita tentang kemesraan dua remaja yang menderita kanker, namun masih bisa menikmati hidup layaknya pasangan lain, meski pada akhirnya salah satu diantara mereka meninggal terlebih dahulu.
Yah, seperti novel The fault in our stars yang juga sudah difilmkan, forgive me for not being romantic. Tapi memang tidak ada yang romantis, ketika orang terkasih divonis menderita kanker, it will turn your world upside down. Jadi untuk yang berharap mendapat romansa di postingan blog kali ini, lebih baik nggak usah diteruskan membacanya, cause it’s all about a family.
Perubahan dimulai ketika Mrs. Alper (ibu Steven) yang harus mengantar Jeffrey ke rumah sakit setiap 1 minggu sekali yang memakan waktu 3 jam menyetir. Maka demi menjalankan tugasnya, ibu Steven yang tadinya berprofesi guru harus menjadi pengangguran dan fokus merawat anaknya. Apa yang terjadi ketika sebuah rumah kehilangan sosok ibu ? Banyak yang akan hilang dan berubah, namun Steven dan Mr. Alper berusaha tidak lagi menambah beban sang ibu.
Steven yang memasuki masa pubertas, dengan segala hal yang perlu dikhawatirkan seorang remaja, kepopuleran di sekolah, mencari pacar sampai nilai-nilainya yang tidak stabil.
“I sometimes looked at my homework assignments and occasionally even wrote a heading on a piece of paper as if I was about to attempt the work, but somehow I wound up going to school empty-handed day after day. In class, too, I just started basically blanking out every period, every day.”
Kini Steven tak lagi bisa khawatir dengan semuanya, masa bodoh semua itu asalkan adiknya, Jeffrey bisa selamat dan melewati masa – masa kritis. Ia berjanji untuk selalu melindungi dan memberikan yang terbaik, selagi masih diberikan waktu bersama dengan Jeffrey.
Rambut Jeffrey mulai rontok dan menipis, ia mengalami kebotakan, mudah letih dan harus menjalani diet rendah lemak plus gula. Bisa dibayangkan semua itu terjadi pada anak berusia 5 tahun ? Yang masih innocent, belum belajar tentang semua jenis dosa yang ada, bahkan hak-nya untuk bisa sekolah dan bermain di taman harus direlakan karena seoarng penderita kanker punya level energi yang jauh lebih rendah daripada anak biasa.
Ketika apa yang dilihat sudah tidak lagi bisa diterima akal sehat Steven, betapa menderita adiknya, maka terjadilah tahap denial berharap sebuah keajaiban, andai semua sekedar mimpi atau kesalahan diagnose dokter.
“My brother was really sick, so sick that they had to stick a needle in him to take out the marrow from his bones. He was sick that they had to stab a needle into his spinal cord. He was so sick that my dad couldn’t bear to tell me about it and that my mom was instantly crying as soon as details were mentioned.”
Ketika Steven mengantar Jeffrey ke rumah sakit di University of Pennsylvania -Oh yeah hampir setiap universitas di US punya rumah sakit sendiri, ya semacam Universitas Airlangga dengan RSUD Dr. Soetomo- ia melewati segerombolan anak muda bermain dalam balutan celana jeans, t-shirt dan rok mini. Betapa anehnya di tempat yang sama saat semua orang tanpa beban ini meraih bahagia, Jeffrey harus bertarung di ambang hidup dan mati melawan kanker. Tak hanya Steven yang berkutat dengan kesedihan, ayahnya –Mr.Alper- di satu sisi merasa gagal karena tak peduli berapa lama ia bekerja lembur, penghasilannya mengalir begitu saja untuk biaya pengobatan Jeffrey.
Penasaran bagaimana kelanjutan kisah yang menurut saya cukup mendekati realita sebagai seorang kakak, ayah dan ibu yang memiliki anak terserang kanker darah ? Silahkan membaca Drums, Girls and Dangerous Pie by Jordan Sonnenblick.

“There’s nothing that’s really unfair in this world, everyone, every tiny peoples around the world has their own destiny. And only God knows what best for us, for them. When you believe it, then good thing will really comes”