The Boycott

Seberapa jauh kita bersedia mengesampingkan keinginan dan prestige pribadi demi apa yang kita yakini, misalnya agama. Masih ingat ketika media ramai membahas tentang perang yang terjadi antara Palestina – Israel ? Meskipun kini media tidak lagi mengangkatnya sebagai tema utama, bukan berarti keadaan disana juga sudah lebih calm down.
Kala itu juga mendadak beredar pesan berantai lewat BBm ataupun Line, tentang produk – produk yang ternyata adalah produk yang CEOnya mendukung Israel, terlepas dari apa agama atau kewarganegaraan mereka. Menurut pesan berantai, konon produk ternama inilah yang selama ini hasil labanya digunakan untuk membeli senjata paling mutakhir bagi Israel. Sebutlah beberapa nama : Starbucks, Nestle, Kraft, Levi’s, Maybelline, Revlon, L’oreal dsb.
Seberapa susah sih kita menghindari atau ‘berpuasa’ sebentar dari produk tersebut ? Terlepas dari mereka benar menyumbang dana untuk Israel mampu membiayai perang berhari-hari atau tidak. Jawabannya, cukup susah ternyata, produk dengan label tersebut sudah masuk kedalam kehidupan sehari – hari. Tinggal membuka cosmetic pouch milik saya, disana sudah bertebaran bedak Revlon, mascara Maybelline dan teman-temannya. Begitu pula sengan kopi Nescafe atau susu Dancow yang sangat mudah dijumpai di took kelontong sekalipun.
Bagaimana jika yang berpuasa dan meliburkan diri adalah Ellen DeGeneres, Elton John, Anna Wintour of Vogue, Hedi Slimane of Yves Saint Laurent, Brian Atwood, Sharon Osbourne ? Wah meliburkan diri dari apa orang-orang tenar ini, sampai mereka rela memindahkan acara amal senilai 60 juta dolla, bayangkan bisa dapat berapa cup Starbucks ? Apakah follow twitter salah satu orang yang saya sebutkan di atas ? Coba cek timeline Ellen DeGeneres pada April22, 2014 “I won’t be visiting the hotel Bel-Air or The Beverly Hills Hotel until this is resolved.” Jadi mereka ini berpuasa dari yang namanya Dorchester Collections, konon ini adalah nama yang diberikan oleh Sultan Brunei pada koleksi hotel-hotel mewahnya.
Wah ternyata sultan Brunei lebih kaya dari presiden Indonesia,hehe. Jadi sultan Hassanal Bolkiah (from Brunei) ini adalah pemilik dari hotel The Dorchester – London, Le Meurice – Paris, The Hotel Plaza Athenee – Paris, New York Palace, Hotel Bel-Air dan Beverly Hills Hotel. Deretan nama hotel yang asing bagi kita bukan ? Saya sih, mampu menginap di Sheraton atau JW Marriot saja sudah merupakan sebuah ‘prestasi’. Koleksi hotel yang dimiliki olah sultan tersebut pasti harga untuk menginap semalam, sudah bisa untuk kontrak rumah. Bagi kaum selebriti, menginap di hotel semacam The Hilton’s, JW Marriot dan Sheraton mungkin terlalu biasa.
Prestige bagi kaum selebritis papan atas, adalah ketika mampu menginap di kamar yang dulunya ditempati Elizabeth Taylor tahun 1961 setelah ia memenangkan Oscar. Atau berenang di pool hotel dimana anggota The Beatles pernah menceburkan diri mereka. Nilai historis dan eksklusifitas yang sudah muncul semenjak dahulu kala inilah yang penting di mata para Hollywood listers dan famous figures. Ibarat gengsinya ibu-ibu kampung yang dianggap ‘mampu’ ketika ulang tahun anaknya dirayakan di Mc’D bukan dengan nasi kuning di rumah. Atau mahasiswa yang jauh lebih cool dengan menenteng cup Starbucks.
Jadi mengapa Anna Wintour dan teman-teman memboikot hotel yang sangat prestigious dengan tidak menginap serta memindahkan semua acara socialite mereka. Bahkan repot memberikan awareness melalui twitter , instagram dan facebook mereka tentang protes ini. Yah tentunya follower mereka ada di berbagai belahan dunia dan jutaan, nggak kayak follower saya yang limited edition :p
Alasan mereka ‘berpuasa’ dari semua hotel milik sultan Brunei adalah ketika Oktober 2013 Sultan Brunei berniat menegakkan hukum Islam di negaranya.
“…announced in October 2013 that he was adopting the harsh and ancient Islamic penal code. Sharia calls for, among others punishments, public flogging of women who have abortions and amputation of limbs and death by stoning of homosexuals, adulterers and thieves.”
“He always stays at the Beverly Hills Hotel. But he said he was going to Peninsula. Everybody’s outraged. And at the same token, everyone has such mixed emotions because we love the help there. But we all have principles, is we can’t go to a hotel or to anything that benefits somebody who will kill human being and stone them to death because of their beliefs” Clive Davis
“ If we lived in Brunei, as of next year, we wouldn’t be married in front of our sons. We’d be getting beaten to death, with objects” Elton John
Jadi, mereka menghubungkan ketika mereka menginap atau mengadakan acara di hotel – hotel tersebut maka mereka menjadikan Sultan Brunei semakin kaya dan otomatis mengintimidasi kaum L.G.B.T karena ia berniat menegakkan hukum syariah. Agak mirip kan ya dengan pembelian Nestle, Coca Cola, Levi’s yang –jika memang benar- menyumbang Israel membeli jet tempur tanpa awak yang bisa membom dengan akurat.
Bukan saya tidak menghargai kaum L.G.B.T atau mendukung seorang pencuri untuk dihukum dengan cara dilempar batu sampai mati. Tapi apakah memang sudah terjadi sampai detik ini, dimana mayat – mayat bergelimpangan, berlumuran darah di Brunei karena mereka adalah bagian dari kaum L.G.B.T ? Sudahkah ada pengeboman besar-besaran terhadap Gay club/bar atau rumah sakit yang membantu para wanita muda untuk aborsi ? Sampai dengan hari ini saya belum melihat berita tersebut muncul, entah apa karena Brunei kalah pamor dengan Israel-Palestina. Yang jelas jika di Israel, sudah jelas terekam aksi pesawat militer, tank, beragam senjata menyebabkan tewasnya entah berapa banyak manusia.
Sultan Brunei saat itu hanya mendeklarasikan bahwa ia ingin menegakkan syariat Islam, karena ia sebagai pemimpin negara yang sudah 67 tahun mulai memikirkan tentang kehidupan afterlife. Ia tidak secara mendetail menjelaskan bahwa melempari kaum L.G.B.T adalah tindakan yang akan disahkan di negaranya. Dalam Al Qur’an yang saya ketahui, pelemparan batu terjadi di jaman nabi Luth terhadap kaum Sodom. That’s it. Ternyata dalam hal ‘puasa’ saja kita masih perlu belajar dari mereka yang juga memiliki prinsip.

German Movie Festival

“Life is like a long marathon, you keep running and never stops until you reach the finish. You will need strategy and training to run through it until the end.”

Akibat terlalu lama gak sempat review, I’m not sure if the quote stated in this movie exactly like my opening. Namun film ini memang inti ceritanya adalah mengenai marathon, betapa seseorang yang sudah berusia lebih dari 70 tahun bernama Paul Averhoff masih ingin berpartisipasi dalam Berlin marathon. Kala dirinya masih muda, Paul seorang atlet lari, sedangkan istrinya Margot Averhoof merupakan trainer sekaligus managernya. Mereka memiliki putri tunggal –aku banget deh,haha – Birgit, yang berprofesi sebagai pramugari.

Tuntutan profesi, mengharuskan Birgit untuk sering bepergian dan meninggalkan kedua orangtuanya sendiri di rumah. Kedua orangtuanya kurang sreg jika putrinya membayar pembantu atau perawat untuk menemani mereka. Akan tetapi selalu muncul kecelakaan – kecelakaan, misalnya saat Margot terpeleset di kamar mandi, yang mengharuskan Birgit mengajukan cuti. Dengan penuh pertimbangan, Birgit memutuskan agar kedua orangtuanya tinggal di panti jompo. Setidaknya disana ada banyak perawat dan dokter yang menjaga 24 jam, merawat setiap saat serta tersedia ‘teman’ yang senasib sepenanggungan.

Sayangnya Paul dan istrinya tidak merasa panti jompo adalah tempat terbaik. Panti jompo lebih kepada tempat mengubur mimpi, menunggu akhir kehidupan dan penampung rasa putus asa. Lingkungan panti justru akhirnya mengobarkan semangat Paul, ia teringat passion hidupnya yaitu berlari. Tepuk tangan warga Jerman ketika dirinya naik podium, serta Margot yang setia menemaninya berlatih. Teman seusia Paul yang sudah terbiasa diperlakukan ‘tua’ memandang sebelah mata pada tekadnya mengikuti marathon. Beranggapan ia pasti tidak ada apa-apanya disbanding partisipan lain yang lebih muda.

Tak ada kata menyerah dalam diri Paul, ia terus berlatih meskipun fisiknya tak lagi sebugar dahulu. Margot yang sudah lama mengidap kanker, akhirnya kembali ke pelukan Tuhan beberapa hari sebelum marathon. Kepergian sang istri membuat Paul terpukul, ditambah lagi konflik dengan anak semata wayangnya Birgit. Selama ini putrinya merasa tak pernah bebas, selalu dibayangi dan dibatasi ruang geraknya oleh kedua orangtua, padahal usianya sudah sangat cukup untuk berkeluarga sendiri. Api yang berkobar, kini meredup, Paul mengalami kesedihan yang sangat mendalam.

Akankah Paul tetap mengikuti Berlin marathon dan berhasil mencapai finish ? Bagaimana hubungan ayah-anak semata wayang ini berakhir, tanpa figur seorang ibu ? This is a movie that you must see !! Wajib nonton Sein Letztes Rennen by Kilian Riedhof. Mungkin film-nya available di Wisma Jerman, yah memang sih dalam bahasa Jerman tapi ada subtitle Bahasa Inggrisnya kok 

“Human should never stops dreaming even though we are old enough”

Drums, Girls and Dangerous Pie

“ If you could pick one word in the English language to describe the universe, what would it be ? Why ?
“ Unfair, unfair, unfair. What do you call a planet where bad guys stroll through life with success draped around their shoulders like a king’s cloak, while random horrors are visited upon the innocent heads of children ? I call it Earth”
Se-sederhana itulah Steven -13 tahun- mendeskripsikan tentang alam semesta. Sejak adiknya Jeffrey yang berusia 5 tahun divonis menderita kanker darah. Ini memang bukan cerita tentang kemesraan dua remaja yang menderita kanker, namun masih bisa menikmati hidup layaknya pasangan lain, meski pada akhirnya salah satu diantara mereka meninggal terlebih dahulu.
Yah, seperti novel The fault in our stars yang juga sudah difilmkan, forgive me for not being romantic. Tapi memang tidak ada yang romantis, ketika orang terkasih divonis menderita kanker, it will turn your world upside down. Jadi untuk yang berharap mendapat romansa di postingan blog kali ini, lebih baik nggak usah diteruskan membacanya, cause it’s all about a family.
Perubahan dimulai ketika Mrs. Alper (ibu Steven) yang harus mengantar Jeffrey ke rumah sakit setiap 1 minggu sekali yang memakan waktu 3 jam menyetir. Maka demi menjalankan tugasnya, ibu Steven yang tadinya berprofesi guru harus menjadi pengangguran dan fokus merawat anaknya. Apa yang terjadi ketika sebuah rumah kehilangan sosok ibu ? Banyak yang akan hilang dan berubah, namun Steven dan Mr. Alper berusaha tidak lagi menambah beban sang ibu.
Steven yang memasuki masa pubertas, dengan segala hal yang perlu dikhawatirkan seorang remaja, kepopuleran di sekolah, mencari pacar sampai nilai-nilainya yang tidak stabil.
“I sometimes looked at my homework assignments and occasionally even wrote a heading on a piece of paper as if I was about to attempt the work, but somehow I wound up going to school empty-handed day after day. In class, too, I just started basically blanking out every period, every day.”
Kini Steven tak lagi bisa khawatir dengan semuanya, masa bodoh semua itu asalkan adiknya, Jeffrey bisa selamat dan melewati masa – masa kritis. Ia berjanji untuk selalu melindungi dan memberikan yang terbaik, selagi masih diberikan waktu bersama dengan Jeffrey.
Rambut Jeffrey mulai rontok dan menipis, ia mengalami kebotakan, mudah letih dan harus menjalani diet rendah lemak plus gula. Bisa dibayangkan semua itu terjadi pada anak berusia 5 tahun ? Yang masih innocent, belum belajar tentang semua jenis dosa yang ada, bahkan hak-nya untuk bisa sekolah dan bermain di taman harus direlakan karena seoarng penderita kanker punya level energi yang jauh lebih rendah daripada anak biasa.
Ketika apa yang dilihat sudah tidak lagi bisa diterima akal sehat Steven, betapa menderita adiknya, maka terjadilah tahap denial berharap sebuah keajaiban, andai semua sekedar mimpi atau kesalahan diagnose dokter.
“My brother was really sick, so sick that they had to stick a needle in him to take out the marrow from his bones. He was sick that they had to stab a needle into his spinal cord. He was so sick that my dad couldn’t bear to tell me about it and that my mom was instantly crying as soon as details were mentioned.”
Ketika Steven mengantar Jeffrey ke rumah sakit di University of Pennsylvania -Oh yeah hampir setiap universitas di US punya rumah sakit sendiri, ya semacam Universitas Airlangga dengan RSUD Dr. Soetomo- ia melewati segerombolan anak muda bermain dalam balutan celana jeans, t-shirt dan rok mini. Betapa anehnya di tempat yang sama saat semua orang tanpa beban ini meraih bahagia, Jeffrey harus bertarung di ambang hidup dan mati melawan kanker. Tak hanya Steven yang berkutat dengan kesedihan, ayahnya –Mr.Alper- di satu sisi merasa gagal karena tak peduli berapa lama ia bekerja lembur, penghasilannya mengalir begitu saja untuk biaya pengobatan Jeffrey.
Penasaran bagaimana kelanjutan kisah yang menurut saya cukup mendekati realita sebagai seorang kakak, ayah dan ibu yang memiliki anak terserang kanker darah ? Silahkan membaca Drums, Girls and Dangerous Pie by Jordan Sonnenblick.

“There’s nothing that’s really unfair in this world, everyone, every tiny peoples around the world has their own destiny. And only God knows what best for us, for them. When you believe it, then good thing will really comes”

Makna Al-Faatihah

Setelah membaca artikel ini, barulah saya membuka kembali Al Quran,  mencocokkan satu persatu ayat yang di deskripsikan dengan indah oleh si penulis artikel. Meskipun dalam sehari,  saya membaca 17kali Al Faatihah, baru kali ini saya terpukau membaca makna setiap ayatnya. Sungguh masih dangkal sesungguhnya pengetahuan saya, akan agama saya sendiri. Silahkan membaca artikel di bawah ini, semoga anda memperoleh pencerahan seperti halnya saya ^^

http://time.com/3041163/ramadan-day-30-the-opening/

Antologi rasa

Why man marry bi*ch ? why oh why ?
Well , I think it depends on how you define bitch. Perempuan seperti apa yang akan disebut sebagai sosok bitch, perempuan yang masa jayanya adalah ketika menjadi queen bee ? Saat ia hobi menyuruh-nyuruh temannya, membully setiap anak yang tidak secantik dirinya, menghina mereka yang tidak masuk dalam ganknya, mengubur mental lelaki yang nerd dan tidak tampan ? Atau perempuan yang tidak pernah mengenal agama, menganggap dunia ini bukan panggung sandiwara, tapi lantai dansa, from one party to another, from one bed to sofa, hafal semua jenis liquor tapi 5 surat pendek Al Qur’an saja dia blank ? Tapi,, siapa bilang mereka para queen bee tidak akan menjadi ibu yang penuh kasih nantinya, mereka yang belum mengenal Tuhan tidak mempunyai kasih sayang terhadap para orang miskin dan anak jalanan. So why man marry bitch ??? Because love works in the most unique way and bitches is not a definite word to label someone.

Kisah ini tentang persahabatan Keara, Harris dan Ruli, ketiganya sama – sama berprofesi sebagai banker. Keara, perempuan yang hobi belanja, sudah kenyang bergonta – ganti lelaki dan jam terbang dia di komunitas night party sudah tidak perlu diragukan lagi. Bahkan Keara ini mengidap penyakit CFD – cheap food disease – sakit perut jika makan makanan murah.
Harris, untuk lebih mudah mendeskripsikannya dia ini versi laki-laki dari Keara. Hidupnya devoted for woman and party , a truly womanizer. Gampangnya bayangkan deh, laki-laki yang kamu taksir semasa SMA atau kuliah. Dia tipe laki- laki yang banyak penggemarnya, perut six pack , wajah bebas jerawat, berkulit putih bak model iklan sabun Shinzui, bertubuh tinggi, so when he looks at you then your heart skip a beat. Ya itulah Harris,,,

Ruli, penyeimbang disini. Dia adalah pria yang kualitasnya sedikit dibawah harris. Tapi dalam hal lain dialah juaranya, masih ingat kan biasanya cewek tercantik atau cowok tercharming pasti punya semacam co-pilot yang kemana-mana barengan. Kira – kira Ruli seperti itu, tapi dia bukan penakluk para wanita, tidak berteman dengan alcohol dan nyaris tidak merokok.
Kerumitan hubungan persahabatan mereka diawali saat Keara jatuh cinta selama 4 tahun kepada Ruli. Yup, masih teringat jelas moment dimana Ruli berada di apartemennya shalat Subuh seusai menjemput dia dan Harris yang hangover. Ia takjub dengan Harris yang begitu kalem, workaholic sekaligu alim, belum pernah ada mantan pacarnya yang seperti itu. Meski mereka berbeda 180º Kera sejak detik itu juga menitipkan hatinya pada Ruli. I don’t want to f**k this man, I want to marry him – Keara
Lantas dimana rumitnya ? karena Ruli justru mencintai Denise – perempuan yang juga kalem, perhatian, pandai memasak namun sayang sudah bersuami. Seringkali Denise -yang teman sekantor mereka juga- bertemu dengan Ruli hanya untuk menangis, karena suaminya ketahuan berselingkuh. Ia tak pernah sadar dengan pandangan penuh kasih dan perhatian Ruli kepadanya.
Semakin ruwet lagi, saat Harris menyimpan rasa cinta untuk Keara. Tak peduli sudah berapa banyak perempuan merasakan lembutnya tempat tidur Harris, aturan kencan ketiga yang ia pegang. Semuanya tidak berlaku dengan Keara, she is like the one – the Everest mountain – that I really want to climb – Harris.

Keara awalnya bersemangat menemani Ruli dan Harris ke Singapura -after all that feelings they are bestfriends still- namun sayang di detik terakhir Ruli justru membatalkan kepergiannya. Terpaksalah Keara pergi berdua dengan Harris, ia tidak menikmati perjalanan itu. Harris malah merasa mendpat berkah, tapi juga sedih melihat kegembiraan tidak terpancar dari wajah Keara. Di hari terakhir Singapore trip itu, Keara melampiaskan kekesalannya dengan belanja, marc Jacobs, Jimmy Choo, Alexander Piguet, semua barang branded lah dia borong. Malamnya ia dan Harris party hard, guess what happen next ? Yup, they make out.

Another traveling trip, kali ini Keara pergi berdua ke Bali dengan Ruli. Sudah berusaha melupakan kasmaran-nya , kini Keara harus tahan meeting dan jalan keliling Bali ditemani Ruli. Guess what ? Ruli yang menemukan sisi lain dari Keara, betapa rapuhnya ia menjadi anak yatim sejak kecil, betapa ia juga punya sisi keibuan. Ruli pun mulai tergoda dengan Keara,,, sejenak melupakan kemesraan Denise dan suaminya yang menorah luka di hatinya.

Jadi siapa bi*ch-nya ? L.o.L. Kalau mau tahu kelanjutan kisahnya, ada di Antologi Rasa- by Ika Natassa.
“A woman either hates or loves. There’s nothing in between.”

antologi

Up In the Air

bandara 2

Saya nggak pernah bosan nonton film ini di DVD, I don’t know why, dan sekarang penasaran sama bukunya. Film bergenre drama ini sudah tergolong film jadul memang, dulu waktu masih tayang di bioskop malah saya abaikan begitu saja. Tunangan dari Amal Alamuddin-bagi yang mengikuti gossip sudah tahu dong- yup the charismatic old man Mr. George Clooney berperan sebagai Ryan Bingham. Berharap deh suami saya kalau tua tetep bisa berkarisma semacam dia, back to focus, I’m about to review Up In The Air.

“ I saw a guy who work at a company for their entire life. They clock in, clock pout and they never have a moment of happiness. You have an opportunity here, it’s a rebirth”

Yah, itulah cara Ryan dalam menyampaikan pemecatan seseorang, terdengar begitu manis bukan. Bukan hal baru pasti kalau di seminar atau acara motivasi terkait pekerjaan, pasti kita diberondong dengan pertanyaan “ is your work your passion ? “ what are you working for ? money, prestige, family ?” Line yang diberikan Ryan di film ini cukup menohok, tapi itulah profesinya memecat orang di berbagai perusahaan kemudian menawarkan future plan package.
Ryan begitu menikmati profesinya, dimana ia akan menghabiskan dua pertiga bagian dalam setahun untuk berkeliling. Hanya menghabiskan kurang dari 60 hari di rumahnya, bisa ditebak kan bahwa dia single, tanpa istri, tanpa kekasih, no relationship. Momen titik balik dalam hidup Ryan hadir ketika Natalie – seorang fresh graduate- mengajukan ke perusahaan tempatnya bekerja untuk memecat orang melalui komputer. Dengan begitu tidak ada lagi perjalanan keliling dunia, menginap di hotel berbintang, makan di restaurant mahal. Penghematan bagi perusahaan sekaligus beradaptasi dengan teknologi terkini.
Ryan tentu saja tidak terima dengan system baru ini, mengurangi kesempatan dia untuk bisa travelling gratis, dan kesenangan dia selama ini berada jauh dari rumah. Lagipula ia menargetkan memperoleh American Airline platinum member, dengan medempuh perjalanan sejumlah 1,000,000 km. Wah kira-kira berapa kali Surabaya-Jogja ya itu,hahaha. Atasannya akhirnya menugaskan Ryan dan Natalie, melakukan perjalanan dinas bersama, untuk membuktikan teori bahwa pemecatan seseorang memang lebih baik dilakukan secara face to face daripada lewat komputer.
Merasa lebih superior, senior, lebih lama bekerja, lebih tahu medan dan lebih segalanya dalam diri Ryan membuatnya yakin bahwa metode Natalie tidak akan berhasil. Natalie dengan jiwa ‘fresh graduate’ masih bersemangat bahwa dengan perantara komputer dan kamera – semacam kalau kita video call- prosesi pemecatan akan lebih mudah. Perselisihan antara Ryan dan Natalie tidak berakhir di bidang pekerjaan, tapi juga dalam hal asmara, Natalie yang pindah ke kota kecil,Omaha, demi bisa dekat dengan kekasihnya takbisa memahami cara berpikir Ryan.

Natalie : You don’t want to be marry ?
Ryan : No
Natalie : How about having kids
Ryan : Not a chance, is that so bizarre?
Natalie : Yes
Ryan : Then try to sell marriage to me
Natalie : How about love ? Somebody you talk to ? Someone you can trust ?
Ryan : I am surrounded by peoples that I can talk to
Natalie : How about not die alone ?
Ryan : Make no mistake, we all die alone

Natalie tidak paham juga dengan konsep hubungan casual yang terjadi antara Ryan dan Alex, dimana keduanya tidak saling berkomitmen. Hubungan mereka, berawal saat Alex tidak sengaja berjumpa dengan Ryan di sebuah airport lounge , mereka ternyata sama-sama sering dinas keluar. Well yes, they kiss each other, the make out many times, tapi seperti yang mereka setujui ini hanyalah hubungan casual. Tidak ada cinta, tidak ada ikatan. Natalie tidak paham, mengapa Alex setuju dengan hubungan semacam itu, karena dia perempuan dan seorang perempuan seharusnya tidak lagi ‘bermain’ di usianya.

Sometimes it feels like no matter how much success I have, it’s not gonna matter until I have met the right guy – Natalie
You know, honestly by the time you are 34 all the physical requirement will be fall out of the window – Alex
Natalie : How does it not even cross your mind that you want a future with someone ?
Ryan : It’s simple, you know the moment when you looking into somebody eyes. And feels like they staring at your soul and the world goes quiet?
Natalie : Yes
Ryan : Well, I never have that moment

Film ini menurut saya seperti All in 1 package , perdebatan tentang cinta, pekerjaan dan hubungan social antar manusia semua dibahas. Sutradara berhasil menjabarkan definisi any kind of relationship dalam kehidupan, benarkah Ryan se-solid itu ? Tidak pernah merasakan cinta, menikmati setiap hubungan tanpa perasaan ? Bagaimana akhir hubungannya dengan Alex ? Berhasilkah metode Natalie, melakukan pemecatan semudah melakukan video talk ? watch the movie, and you’ll never regret 

Mengejar Bayanganmu

Bulan Ramadhan sudah kembali menyapa,
Terasa benar berbeda, tanpamu di sisi kami,
Hanya ada saya dan bapak,
Bunyi alarm dari handphone menggantikan ketukan di pintu kamarku, atau percikan air di wajah ketika saya sudah tidak mempan dibangunkan sahur dengan cara biasa,
Tahun lalu, Ramadhan terakhir yang istimewa, dengan saya mencari menu buka di warung sekitar rumah sakit,
Tidak lagi merasakan nikmatnya masakan rumah, hangatnya berbuka bersama,
Saya yang selalu kalap membeli banyak makanan, dan engkau yang selalu membelikan kolak atau kue, apapun yang saya inginkan,
Saya yang rewel menu sahur, namun selalu luluh ketika engkau suapi, meski sering gondok kalau nggak boleh sahur pakai Indomie,
Menggandengmu berangkat tarawih, bersandar di bahumu ketika waktunya ceramah,
Tahun lalu, saya berangkat tarawih sendirian di masjid rumah sakit,
Tapi masih merasa beruntung ketika saya berjalan kembali, saya tahu masih bisa berbincang dan mencium tanganmu,
Kini semua tinggal kenangan,
Saya hanya bisa berziarah, membersihkan makam, tertunduk diam disamping makam,
Tidak ada lagi tawamu yang menghiasi hari-hari kami,
Tidak ada yang membangunkan saya dan bapak sahur dengan penuh kasih,
Tidak ada yang mencegah saya langsung tidur begitu selesai sahur, atau mencubit saya supaya bangun shalat Subuh,
Tidak ada yang akan mengomeli saya kalau saya sahur Indomie,
Tidak ada yang dengan senang hati, berbelanja pakaian baru, kue lebaran bersama saya sepertimu,

They said when someone dies, it is only their body, meanwhile their spirit will stay alive among us.
Thank you mom,

Ayat – Ayat Cinta

Gambar

Oh tidak, jangan khawatir, ini bukan mau mengisahkan soal kehidupan cinta saya. Sejak melihat cover novel ini, mengingatkan saya pada era dimana film ayat-ayat cinta booming dan semua wanita mendadak mencari sosok Fahri. Pria yang manis, pintar plus pandai mengaji , lalu semua pria mendadak mengidamkan wanita berhijab dan bercadar, tapi luar biasa cantik dibalik cadar *ngarang* hahaha…

The mercy of Allah is an ocean. Our sins are a lump of clay clenched between the peak of a pigeon. The pigeon is perched on the branch of a tree at the edge of that ocean. It only has to open its beak – page 4

Yah, saya memang berharap kisah klise semacam novel Ayat – Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih atau 99 Cahaya di langit Eropa sewaktu meminjam novel ini. Judulnya Minaret by Leila Aboulela, wanita kelahiran Sudan. Sejujurnya saya kaget waktu tahu beberapa negara di Afrika, seperti Sudan, Ethiopia dan beberapa lainnya mayoritas muslim. Saya kira banyak negara di Afrika masih menganut atheism *how narrow minded I am* . Beda ladang, beda belalang, berbeda negara berbeda pulalah bagaimana Islam diekspresikan disana.

They were getting ready to pray. They had dragged themselves from sleep in order to pray. I was wide awake and I didn’t – page 8

Cerita ini tentang seorang Najwa gadis kelahiran Sudan yang memiliki saudara kembar laki-laki bernama Omar. Najwa terlahir dari keluarga aristocrat Mamanya berasal dari keluarga terpandang di Sudan dan Babanya seorang politikus terkenal. Berasal dari keluarga terpandang di negara berkembang seperti Sudan, membuat hidup Najwa tak mengenal susah, di rumahnya ada 5 pembantu yang siap melayani.

Berada di lingkungan elite Sudan, membuat Najwa dan keluarganya memiliki gaya hidup yang ‘modern’. Tidak seperti gadis – gadis tradisional di kampusnya yang mengenakan hijab dan jubah. Keluarga Najwa yang menjunjung nilai modernitas, tidak mengharuskan ia mengenakan kerudung, ia bisa berpesta ke klub, minum wine ketika makan malam. Ia bahkan tidak diharuskan untuk shalat oleh Babanya, tapi mereka tetap tidak membuang identitas muslim. Menjadi seorang muslim dan mentaati peraturan di dalamnya, itu dua hal yang berbeda.

Tapi Najwa tahu batas, ia tetap berpuasa ketika Ramadhan tiba dan shallat lima waktu ketika waktu ujian supaya memeproleh nilai yang bagus. Perempuan muslim modern seperti Najwa inilah yang disukai oleh Anwar Al-Sir, pria karismatik di kampus mereka Khartoum University. Meskipun orangtua Najwa tidak merestui jika ia dekat dengan Anwar, karena ia tidak berasal dari keluarga kaya. Sedangkan Omar, kembaran Najwa tidak jauh berbeda dengannya dalam hal ibadah, bahkan jauh lebih berani. Di setiap pesta Omar tidak hanya minum dan merokok, menghisap marijuana pun ia lakukan. Omar pecaya pada Allah, ia seorang muslim, namun hidup hanya sekali, jika terlalu taat, akan ada banyak hal terlewatkan, itu motto hidupnya.

          If Baba and Mama had prayed, if you and I had prayed all of this wouldn’t have happened to us. We would have stayed a normal family – Najwa

          That’s naïve          – Omar – page 143

Kehidupan Najwa dan Omar berubah drastis, ketika mereka harus berpindah ke London. Di usia mereka yang masih 20 tahun, mereka gembira saja mendadak ke London, padahal biasanya mereka hanya pergi saat musim panas. Baru mereka sadari setelah beberapa hari, bahwa mereka dalam pengasingan, Baba mereka ternyata menjadi tersangka atas dakwaan korupsi. Mama mereka shock , sampai akhirnya ketika Baba dihukum mati, mereka tidak bisa kembali ke Sudan. Sudah tidak ada lagi orang – orang yang dulu menjadi teman, hingga Mama juga menghembuskan nafas terakhirnya di London. Ketika memandikan jenazah, ia bertemu Wafaa yang mengajaknya ikut komunitas mengaji. Hati Najwa belum tergerak, ia terus menghindari ajakan Wafaa.

Najwa dan Omar, tanpa kekayaan yang berlimpah, hidup mereka tidak lagi senyaman dulu, Omar terjerat obat – obatan terlarang dan akhirnya di penjara 15 tahun. Najwa bertemu kembali dengan Anwar di London, mencoba melanjutkan cinta mereka semasa di Sudan, apalagi sudah tidak ada Baba dan Mama yang tidak merestui. Semua keputusan di tangan Najwa, dengan uang warisan yang sedikit ia membelikan Anwar komputer, berharap ia menjadi penulis sukses. Tak hanya komputer, virginitasnya pun ia berikan pada Anwar.

          Anwar views on religion were definite and he hated fundamentalists. He believed it was backward to have faith in anything supernatural; angels, djinns, heaven, hell, resurrection. He wanted rationale, reason and he could not help but despise those who needed God, needed paradise and the fear of hell – page 241

Tak ada pernikahan Najwa – Anwar, justru 10 tahun kemudian Najwa berprofesi sebagai pembantu rumah tangga di London. Namun kini hidupnya berubah, ia lebih bahagia, ia lebih percaya diri menjalani hidup, ia sudah lebih dekat dengan Tuhan. Hingga ia dipertemukan dengan Tamer , seseorang yang jauh lebih muda darinya, adik majikannya, berasal dari keluarga Mesir terpandang dan pria muslim yang benar – benar taat. Ia hanya bisa berandai-andai jika waktu dapat terulang kembali.

Akankah ada pernikahan Najwa – Tamer ? Bagaimana Najwa akhirnya memakai hijab dan menjadi apa yang dulu ia anggap ‘muslimah kuno’ ? Novel ini, tidak menitikberatkan pada kisah percintaan. Tapi lebih kepada proses perubahan Najwa sebagai seorang muslim, bagaimana ketika kita jatuh bangun dalam proses mendekatkan diri dengan Tuhan.

No matter how much you love someone they will die. No matter how much health you have or money, there is no guarantee that one day you will not lose it. We all have an end we can’t escape – page 243

Handle with Care

Gambar

Most things break, including hearts. The lessons of life amount not to wisdom, but to scar tissue and callus. – Wallace Stegner, The Spectator Bird in Jodi Piccoult, House Rules

Kapankah seorang wanita tidak menginginkan anaknya dilahirkan ? Kamu mungkin berkata, mana ada ibu yang setega itu, setiap ibu pasti ingin melahirkan anaknya, setelah 9 bulan mengandung. Setelah berjuang hebat dengan suaminya demi punya keturunan.

Apakah do’a yang sama masih di hati, ketika anak yang sudah dinanti 9 bulan lamanya ternyata tidak sesehat, secantik atau sesempurna yang diharapkan ? Ketika USG 3 dimensi dan kunjungan ke dokter kandungan berkali – kali ternyata bukanlah jaminan, bahwa anakmu akan lahir dengan sempurna. Well, hanya Tuhan yang tahu dan berkehendak atas banyak hal di dunia ini bukan.

Perkenalkan keluarga O’Keefe, menjadi seorang cake maker yang sukses dan populer di usia muda harus terhenti ketika Charlotte O’Keefe menikah dengan Sean O’Keefe seorang polisi di kota New Hampshire, pernikahan Charlotte yang kedua. Putri sulung mereka Amelia O’Keefe – 12 tahun,adalah anak dari pernikahan pertama Charlotte. Sedangkan Willow O’Keefe, putri kedua dan satu – satunya dari pernikahan mereka.

Seperti yang ditakutkan semua orang tua, Willow terlahir tidak sesempurna bayi lain, seakan mengesampingkan kerasnya usaha Sean dan Charlotte agar bisa memperoleh keturunan. Willow terlahir dengan Osteogenesis Imperfecta (OI) – saya juga baru tahu penyakit ini benar ada setelah baca novel – sebuah penyakit kekurangan collagen dalam tulang, sehingga membuat tulang sangat sangat rapuh, bahkan hanya dengan bersin atau berdiri tidak seimbang, tulang hidung atau kaki bisa retak bahkan patah.

I had been so busy wishing for your survival that I hadn’t given much thought to the challenges it would present ­– Charlotte, page 10

Kini ketika Willow berusia 5 tahun, Charlotte baru merasakan betapa rumitnya dan perjuangannya tidak berakhir ketika Willow berhasil diselamatkan saat bayi. Dia dan Sean akan terus was – was, khawatir terhadap anaknya yang tidak bisa berlarian di playground seperti anak lain. Tidak bisa melompat – lompat dengan gembira, perlu lebih dari sekedar child seat biasa untuk bisa membuat Willow aman di dalam mobil, karena seat belt yang terlalu kencang saja bisa meremukkan tulang rusuknya.

Seusai liburan yang gagal di Disneyland California, karena Willow terpeleset dan menyebabkan patah tulang panggul. Sehingga polisi lokal curiga dan melakukan x-ray, membuat mereka semakin curiga dengan banyaknya tulang yang patah sebenarnya. Kejadian ini membuat Sean, Charlotte dan Amelia bermalam di penjara karena dituduh melakukan kekerasan terhadap anak, mereka lupa membawa surat dokter yang menerangkan bahwa anaknya mengidap OI. Mereka dibebaskan setelah polisi mendapat konfirmasi dari dokter di New Hampshire tentang kondisi spesial Willow.

Deskripsi ibu yang baik, seperti apa menurutmu ? Mereka yang selalu berusaha melindungi anaknya, memberi yang terbaik pada anaknya, tanpa tahu bahwa yang dilakukannya malah menyakiti anaknya. Seperti itulah dilemma yang dirasakan Charlotte ketika ia akan mengajukan gugatan Wrongful Birth terhadap dokter kandungannya dr. Piper Reece yang mana adalah sahabat, tetangga, seseorang yang menjodohkannya dengan Sean, sekaligus dokter kandungannya.

Wrongful Birth adalah suatu tuntutan hukum, yang menyalahkan dokter karena tidak memberitahu pasien sebelumnya jika anak yang dikandungnya beresiko tinggi, baik dapat menyebabkan kematian atau sakit parah, sehingga pasien bisa memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Dengan mengajukan gugatan ini, maka Charlotte akan memperoleh jutaan dolar untuk semua biaya perawatan Willow yang tidak ditanggung asuransi. Sehingga Sean tidak harus bekerja lembur demi mencukupi kebutuhan biaya Willow dan mereka bisa punya waktu untuk juga memperhatikan Amelia.

Apa yang terjadi ketika Charlotte benar – benar menggugat Piper ? Hubungan Sean dan Charlotte menjadi tidak harmonis, karena Sean tidak setuju dengan dasar gugatan ini, menurutnya tidak ada yang salah dengan Willow, dia tak pernah berharap Willow tak pernah dilahirkan. Hubungan persahabatan antara Charlotte dan Piper, begitu pula anak mereka Amelia dan Emma tinggal kenangan. Karir Piper sebagai seorang dokter kandungan terancam, kredibilitasnya diragukan. Willow, yang berusia 5 tahun, bertanya – tanya sebegitu tidak diinginkannya kah ia, sehingga ibunya akan lebih memilih untuknya tidak dilahirkan atau ini bukti rasa sayang karena ibunya ingin memudahkan hidupnya sebagai penderita OI ?

Marin Gates, seorang pengacara amatir ditugaskan oleh atasannya untuk menangani kasus pro-bono ini. Ia sendiri padahal benci dengan ibu seperti Charlotte yang seolah mau dengan mudahnya menyingkirkan anaknya jika tahu ia tidak akan terlahir sehat. Tapi berusaha menutupinya dengan dalih demi biaya perawatan anaknya. Pada akhirnya Marin tetap memutuskan untuk mendampingi Charlotte, karena ia sendiri penasaran mengapa dirinya dulu juga dibuang oleh ibunya ? Padahal ia sempurna dan sehat, ibu kandungnya membuat Marin hidup sebagai seorang anak angkat selama puluhan tahun.

Being adopted felt like reading a book that had the first chapter ripped out. You might enjoying the plotand the characters, but you probably also like to read the first line too – Marin , page 70

When you’re adopted, you have the happiest life in the world, but there’s always part of you that wonders if you’d been cuter, quieter an easy delivery – well maybe then your birth mom wouldn’t have given you away – Marin page 525

Berhasilkah Willow survive melewati semua ini ? Bagaimana dengan hubungan rumah tangga Sean dan Charlotte yang sama-sama ingin yang terbaik bagi anak mereka ? Berhasilkah Marin Gates menemukan ibu kandungnya dan mengetahui alasan kenapa ia dulu dibuang ? Read the novel Handle with care by Jodi Picoult